Virus Hepatitis B dan Infeksi Virus Hepatitis C Penyebab Utama Infeksi Akut dan Kronis pada Hati




Jakarta-Humas BRIN. Hati sebagai organ terbesar dalam tubuh, berperan penting dalam proses metabolisme nutrisi dan detoksifikasi untuk mengeluarkan racun.  Di dunia, penyakit hati kronis menjadi problem utama bagi kesehatan, dan telah merenggut hampir 2 juta kematian per tahunnya. 

Dari fakta tersebut, 1 juta kematian disebabkan infeksi kronis virus hepatitis dan karsinoma hepatoseluler (HCC, kanker hati). Virus hepatitis B (HBV) dan infeksi virus hepatitis C (HCV) menjadi penyebab utama infeksi akut dan kronis pada hati. Dampaknya menyebabkan fibrosis, sirosis hati, dan perkembangan kanker hati.

Hal tersebut terungkap dalam kegiatan seminar dan Focus Group Discussion, Scientific Cooperation in Liver Research Between Indonesia and Italy, yang diselenggarakan secara hibrid di Jakarta, pada Rabu (10/7).

Kegiatan ini dihelat Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, Organisasi Riset Kesehatan BRIN dengan dukungan dari berbagai pihak, seperti  Kedutaan Besar Italia di Jakarta, Fondazione Italiana Fegato ONLUS (FIF Onlus), Kementerian Luar Negeri dan Kerja sama Internasional Italia (MAECI) serta Manajemen Talenta BRIN .

Mewakili Kepala BRIN, Edi Himawan Direktur Alih dan Sistem Audit Teknologi dalam sambutannya menyampaikan apresiasinya kepada para periset, professional, dan pengambil kebijakan yang berkecimpung dalam bidang kesehatan.

“Kegiatan ini tak hanya memfasilitasi diskusi ilmiah dan mendorong kolaborasi antara Indonesia dan Italia, namun kemitraan yang terbangun mengarah pada riset bersama. Berfokus pada pengembangan penyakit hati,” terangnya.

Adanya MoU yang terbangun pada kedua belah pihak diharapkan dapat menentukan arah riset prioritas di masa depan.

“Tak hanya menjadi kesempatan untuk bersinergi, adanya pertukaran ilmuwan Indonesia dan Italia menjadi upaya kolaboratif dalam mengatasi masalah bersama. Selain itu, dapat mendorong kemajuan riset penyakit liver,” tegas Himawan.

Berbagai kajian riset penyakit liver terkini berupa hasil riset, metodologi ataupun temuan di lapangan turut dipaparkan dan didiskusikan pada kegiatan ini. David Handojo Muljono dari Kementerian Kesehatan dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, memaparkan pentingnya kajian translasi dalam penanganan penyakit hepatitis B kronis.

“Sebagai basis bukti riset, pendekatan translasi menjadi penghubung antara penemuan ilmiah dengan penerapan pengaplikasiannya di lapangan. Peran penting penelitian translasi melalui pengobatan molekuler dapat menemukan titik masalah. Melalui intervensi di jalur ini dapat membantu mencegah perkembangan penyakit, serta penularannya,” tambahnya.

Menurutnya, manifestasi klinis sebagai hasil proses penyakit diawali dari gejala klinis yang berlanjut pada keadaan berat, dengan berbagai implikasi yang bisa berakhir pada kematian.

“Spektrum infeksi virus hepatitis B dapat berlangsung dalam rentang 10 hingga 20 tahun. Hepatitis B merupakan suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan peradangan hati. Pada tahap kronis akan berdampak pada sirosis atau kanker hati,” ucapnya.

Dirinya memaparkan, pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma. Tujuan utama pengobatan hepatitis B kronik untuk menekan VHB, dan terapi antiviral telah terbukti bermanfaat untuk hepatitis B kronis.

Dalam seminar terkuak pula bahwa munculnya resistensi antiviral telah menjadi tantangan besar pada hepatitis B kronis (CHB) dan manajemen hepatitis C kronis (CHC). Replikasi dan mutasi virus yang berlanjut, berkontribusi pada perkembangan resistensi terhadap terapi antivirus, Hal ini memerlukan upaya penelitian berkelanjutan untuk mengidentifikasi hal baru. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi pengobatan dalam mengatasi mekanisme resistensi.

Pada kesempatan tersebut, hadir secara daring Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN  Indi Dhamayanti turut menambahkan terkait pengobatan penyakit dan respon pengobatan yang terjadi di Indonesia.

“Perkembangan penyakit hati yang terjadi di Indonesia sangat berbeda dengan kasus yang terjadi di negara lain. Variabilitas yang tinggi menghasilkan strain virus yang beragam, sehingga respon yang ditunjukkan pun berbeda terhadap pengobatan dan perkembangan penyakitnya,” ungkap Indi.

Lebih lanjut Indi menegaskan pentingnya manajemen penyakit hati, karena perkembangannya erat kaitannya dengan faktor etiologi dan distribusi geografis.

“Hal ini menjadi sebuah tantangan dalam upaya penatalaksanaan penyakit serta menemukan biomarker yang spesifik. Indi pun menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat memberikan dampak yang maksimal bagi perkembangan riset penyakit hati di masa depan," pungkasnya.(MKR/ed. ns)



Sumber brin.go.id




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel