Recents in Beach

Tim Makan Lambat Vs Cepat, Mana yang Lebih Sehat? Ini Temuan Riset




akarta - Saat makan bersama rekan dekat, keluarga, atau seseorang yang baru dikenal, sulit untuk tidak memperhatikan waktu makan mereka dan membandingkannya dengan kebiasaan diri sendiri. Mendadak muncul pertanyaan mengapa orang lain makan dengan sangat cepat, atau sebaliknya sangat lambat.

Ada orang yang tampaknya menghabiskan sepiring nasi dengan suapan besar sehingga habis dalam hitungan menit. Di sisi lain, adapula mereka yang butuh waktu separuh hingga satu jam penuh untuk menyantap satu hidangan kecil.

Sebetulnya mana sih yang lebih sehat bagi tubuh? Lebih baik cepat atau lambat?

"Orang yang makan lebih lambat biasanya membutuhkan waktu lebih dari 30 menit untuk menyelesaikan makannya, sedangkan orang yang makan cepat menyelesaikan makanannya dalam waktu kurang dari 20 menit," menurut Dr Jessica Beh, dokter keluarga di DTAP@Robertson, merinci definisi waktu yang masuk kategori cepat atau lambat.

"Rata-rata durasi yang dibutuhkan kebanyakan orang dewasa untuk menyelesaikan makan dapat bervariasi, tergantung pada kebiasaan makan individu dan norma budaya. Kisaran umumnya adalah sekitar 30 menit untuk makan utama dan 20 menit untuk camilan," lanjutnya.

Menurutnya, jika seseorang makan dengan lambat, ada kemungkinan pengaruh dengan gangguan distraksi saat makan atau masalah kesehatan gigi.

"Orang yang cenderung makan sambil melakukan aktivitas lain seperti menonton TV, membaca, bekerja, atau ngobrol dengan teman makan malam mungkin makannya lambat karena perhatiannya terbagi antara makan dan aktivitas lainnya," ujarnya.

dr Beh menambahkan, rasa sakit akibat pemasangan gigi palsu yang tidak tepat atau masalah kesehatan mulut lain juga dapat membuat proses mengunyah menjadi sulit dan lambat. Sedangkan beberapa orang lebih memilih untuk makan dengan perlahan, meluangkan waktu untuk menikmati setiap gigitan.

"Sebaliknya, orang yang suka makan cepat mungkin dikondisikan untuk makan cepat karena gaya hidup mereka yang sibuk," sorotnya.

"Hal ini umum terjadi pada individu dengan pekerjaan yang menuntut, pelajar, dan orang tua yang mungkin memiliki waktu makan terbatas."

Kebiasaan makan seperti itu juga bisa terbentuk di masa kanak-kanak ketika mereka ditekan oleh orang tua untuk segera menyelesaikan makanannya. Tidak hanya itu, seorang profesor di Departemen Psikiatri dan Psikologi di Cleveland Clinic menyebut kesehatan mental juga bisa menjadi faktor di balik kebiasaan makan seseorang.

"Terkadang, stres, kecemasan, atau tekanan emosional juga dapat mempengaruhi pola makan," kata dr Leslie Heinberg.

Adakah Risikonya?

Dalam sebuah penelitian yang mengamati perubahan berat badan pada 529 pria selama delapan tahun, orang yang makan cepat mengalami kenaikan berat badan dua kali lebih banyak dibandingkan orang yang makan lambat atau bahkan dengan porsi sedang.

Studi lain terhadap lebih dari 4.000 orang paruh baya di Jepang mencatat bahwa orang yang makan cepat saji cenderung memiliki berat badan lebih besar dan mengalami kenaikan berat badan terbanyak sejak usia 20 tahun.

Alasannya, setelah makan, usus secara alami menekan ghrelin, hormon yang memicu rasa lapar. Di saat yang sama, ia juga melepaskan hormon untuk membuat seseorang merasa kenyang. Bersama-sama, hormon-hormon ini memberi tahu otak bahwa sebenarnya sudah makan.

Proses hormonal tersebut membutuhkan waktu sekitar 20 menit agar otak dapat mencatatnya. Jadi, tidak heran mereka yang makan dengan cepat dan sudah mengonsumsi lebih banyak kalori daripada yang dibutuhkan, cenderung masih merasa lapar, karena sudah meletakkan sendok sebelum otak memberi sinyal.

Namun, itu tidak lantas membuat seseorang harus makan selama mungkin, untuk terhindar dari risiko. "Mengunyah dalam waktu lama dan makan lambat dapat menyebabkan seseorang menelan lebih banyak udara setiap kali makan, sehingga menyebabkan kembung dan gas."

Sebetulnya, tidak ada batasan berapa kali seseorang perlu mengunyah setiap gigitan, tetapi pakar menyarankan sekitar 20 hingga 30 kunyahan jauh lebih baik.

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Sumber health.detik.com



Posting Komentar

0 Komentar